I never feel a
pain like this, not what I want. Im just thinking that I always regret
everything until I cry. I always write something useless than make a writing to
my book. I’ll always be fools. And now, I want to give u my pain, so I can
breath.
Sore itu semuanya baik-baik saja. Ia dan rekannya itu sedang
mencari pemandangan yang bagus agar bisa cocok dengan simetris wajahnya. Semuanya
berlalu dengan baik, walaupun rekannya itu sempat keracunan makanan Bersama teman-temannya
yang lain hingga tidak masuk kelas karena sakit. Tapi semuanya juga bisa
berubah menjadi tidak baik.
Saat hari mulai menjelang maghrib, dan ia pun hendak pulang.
Namun sesuatu terjadi, suara dentuman keras memekakkan telinganya. Ia bahkan
tidak bisa bernapas karena melihat benda berharga itu kini jatuh dan terlihat
belakangnya yang berwarna hitam. Entah layarnya retak, keyboardnya rusak, atau
bahkan tidak bisa hidup sama sekali.
Pikirannya buyar, ia bahkan menyesali berulang kali tentang
apa yang barusan terjadi. Kakinya tak sanggup untuk pulang, sampai rekannya datang
dan menenangkannya. Tapi bukan suatu sambutan
baik, karena sekarang dirinya sedang berada pada kondisi hati yang
buruk. Bahkan tangisan itu hendak tumpah saat semua temannya memanggil untuk
pulang.
Ia berulang kali menyesali sampai dalam benaknya, ia hanya
berpikir bahwa ia adalah manusia yang ceroboh. Tidak ada satu pun yang cocok
baginya untuk disimpan apalagi benda berharga, pasti rusak. Teringat lagi ke
jaman di mana laptopnya benar-benar menjadi bangkai karena terkena banjir yang
ia buat sendiri. Itu hampir saja menenggelamkan ijazahnya dan berkas penting
lainnya.
“Makan dulu?” tanya rekannya bahkan saat masih perjalanan
pulang. Tapi ia hanya menatap kosong, seperti kehilangan semangat hidup. Di sisi
lain, ia menyadari bahwa rekannya juga punya masalah yang berkaitan dengan lomba
yang ia daftarkan. Ia merasa bersalah untuk terus menerus mengabaikan rekannya
itu. Tapi apa pun yang terjadi, itu memang keputusan yang sulit.
“Aku masih sakit karena keracunan tadi, dan harusnya dosen
itu mengerti.” Rekannya berujar sambal mengarahkan motornya menuju rumah makan
terdekat untuk membeli nasi yang dijanjikan padanya. Ia berusaha menolak, tapi
tidak ada tanda-tanda rekannya itu untuk memutar arah. Semua keluhan yang
disampaikan padanya hanya menjadi boomerang karena sekarang kondisi hatinya
makin tidak baik.
Bahkan saat nasi itu sampai padanya, dan rekannya itu
mengantar pulang, hatinya semakin tidak baik. Ia menyukai rekannya itu, dan
masih berharap untuk dihibur. Sayangnya, keduanya sama-sama dalam kondisi yang
tidak baik sehingga ia hanya bisa menahan sesak di dada.
“Besok aku jemput, aku janji kita pergi.” Rekannya berteriak
lantas mengungkit perjanjian bahwa mereka akan pergi di hari Sabtu karena ada
acara temannya yang lain. Tapi ia mengabaikannya, ia bahkan menolak untuk pergi
dan tidak selera makan. Rasanya ingin ia biarkan perutnya kosong hingga
membutanya mati kelaparan. Tapi ia masih ada akal sehat karena merasa masih
memiliki orang tua. Ayahnya sakit, dan sudah tiga hari masuk Rumah Sakit.
Ayahnya yang selalu bekerja sehari-hari dan memberikannya nafkah bahkan saat ia
menyadari ia lebih berkecukupan di sini, daripada orang tuanya di kampungnya.
“Jangan kasih tau anak, nanti mereka khawatir.” Begitulah
percakapannya tadi pagi Bersama ibunya yang berulang kali menelpon tapi tidak diangkatnya.
Teringat lagi kisah di mana ia merasa malu memiliki ayah
karena ayahnya berperawakan tinggi besar, gondrong, layaknya preman. Semua
orang di kelas takut padanya layaknya takut pada ayahnya. Ini tidak berakhir
baik, tidak semua benar-benar menghargainya karen ia memang hebat, tapi karena
takut sewaktu-waktu jika ia memberi tahu ayahnya.
Ia benar-benar menyesali saat ayahnya tahu bahwa ia sangat
malu memiliki ayah berperawakan seperti itu, apalagi saat itu ia pernah ditampar
hingga mimisan. Semuanya berakhir tidak baik saat ia sakit di tahun 2015 dan
kemudian semakin membenci ayahnya.
Hidup memang tidak adil, siapa sangka di tahun 2020 ayahnya
malah sakit keras. Ia bahkan tidak menyangka semua ini bisa terjadi. Satu hal yang
disesalinya dalam hidup adalah bahwa ia tidak bisa mendapat cumlaude
karena pernah mengulang satu matkul walaupun ibundanya tidak tahu. Semuanya
benar-benar tidak diduga, ia bahkan terlalu berleha-leha untuk belajar di kampusnya.
Ia harus melakukan suatu hal yang bermanfaat yang bisa
menghasilkan uang agar semuanya bisa baik-baik saja. Dari dulu ia ingin sekali
menerbitkan buku tapi tidak pernah kesampaian karena rasa malasnya. Dan selalu
saja menghabiskan waktu bersenang-senang. Semuanya tidak pernah sesulit ini,
tidak pernah serumit ini dari yang ia bayangkan. Ia ingin istirahat, sebentar
saja untuk mengetahui bahwa ia masih berada di dunia yang sama. Dunia yang selalu
mengabulkan permintaannya.