Hari ini hujan turun sangat deras, sampai aku dan teman-temanku terus diusik petir dan akhirnya mati lampu. Aku tidak bisa menutup rasa sesalku kala aku tidak bisa pergi kemana-mana padahal ini malam minggu.
Belum lagi rasa kangenku yang teramat sangat pada sang pujaan hati yang sedang "bekerja", anggap saja begitu. Setidaknya aku mengenalnya, dan aku kerap mengobrol dengannya via chat.
Dia mengucap kangen berulang kali seolah sudah lama tidak berjumpa. Oh iya, aku melupakan fakta bahwa besok masih hari Minggu dan ada waktu untuk mengerjakan laporanku.
Aku dirundung laporan beberapa hari ini, dasar teoriku belum kukerjakan, dan tulisan tangan itu belum kusentuh. Ah, aku sangat membenci praktikum. Membenci segala hal tentang laboratorium yang memaksaku melakukan hal pembodohan.
Di sini, aku bersama kedua temanku menatap gelapnya cahaya padahal masih di waktu sore. Inginku menghidupkan data dan mentionan dengan teman onlineku, atau setidaknya membalas pesan whatsapp orang lain, namun ketakutan akan petir yang menyambut handphoneku membuat aku mengundurkan diri.
Mengundurkan diri untuk menghidupkan data maksudnya. Padahal siang itu aku sudah makan tapi rasanya masih ingin makan lagi, dan kami pun memutuskan untuk makan bolu yanh kemarin dibeli temanku, Aliza.
Sementara aku selesai memotong pepaya, petir itu terus menerus berdatangan, membuatku tak nyaman. Ingin tidur, tapi kasurnya terlalu sempit untuk ukuranku. Alhasil aku hanya menyender di kulkas sembari mengaku bahwa aku sangat benci hujan akhir-akhir ini.
Hujan memang rezeki, banya kota yang belum mendapatkan hujan apalagi sederas ini, tapi di sini terlalu sering dan membuatku jenuh. Apalagi jika hujannya disertai petir dan angin kencang, jalan setapak akan banjir dan jemuran pun akan berhamburan.
Sebuah pesan membuatku kembali terpaku. Maklum, sebagai orang yang dirundung cinta padahal bukan siapa-siapa. Bahkan aku tidak pernah tahu seperti apa aku di hidupnya.
"Di sini tidak hujan," ucapnya.
Aku kembali mengetik dan mengatakan tunggu saja bahwa hujan itu akan mengarah ke sana. Lagi-lagi ia menepis.
"Aku bisa saja berkendara sekarang dan membuktikan bahwa hari ini tidak hujan." Ia tertawa terpingkal-pingkal. Aku tetap menyuruhnya untuk melakukan pekerjaannya.
"Nanti temanmu marah karena terlalu sering membuka hp," balasku.
"Mereka senang ada yang jadi bucin." Lagi-lagi ia membuatku menahan tawa. Bucin adalah budak cinta, sebutan bagi orang-orang yang sedang jatuh cinta dan mau menyenangkan orang yang disukainya. Belum tentu pacaran loh ya, contohnya kami ini.
"Aku ke sana yah," ucapnya mengakhiri obrolan itu. Aku tidak menjawab, setidaknya aku tahu dia tidak pernah mengingkari janji. Aku juga melanjutkan aktivitasku bersama temanku yang lain, masih diselimuti gelapnya senja.
Tapi tak sedetik pun ada kabarnya, aku lelah menunggu. Entah aku tahu dia benar-benar datang atau semuanya hanya khayalan. Atau dia tidak sedang baik-baik saja.
Hingga dering telfon itu berbunyi, persis menggetarkan hatiku dan jantungku berdegup kencang. Aku mendengar bahwa dia menghilang, hanya motornya yang ditemukan berasap layaknya disambar petir atau kecelakaan.
Tidak ada kabar darinya, tidak ada kekuatan yang membuatku paham tentang semuanya. Apakah dia memang masih baik-baik saja atau sudah menghilang dan tak pernah kembali. Handphonenya, bajunya, tidak ditemukan satu pun di malam itu.
Sampai satu pesan mengakhiri pengharapanku di malam yang kelabu. Satu pesan yang membuat isak tangisku menggebu-gebu. Bahwa ia tak akan pernah kembali.
Hari ini dia sudah ditemukan, sebentar lagi disholatkan dan dimakamkan. Kami mengharapkanmu datang.
Satu kali aku mengecewakan diriku sendiri, lebih berat dari kecewanya aku mengetahui bahwa ia sudah tiada. Aku tidak tahu ingin menyalahkan siapa, karena kemauan dirinya sendiri yang ke sini. Apa aku harus menyalahkan Tuhan?
Seolah hari ini kami masih bertemu, berkeluh kesah, dia selalu mengantarku ke mana pun sebisanya. Lalu aku patahkan pengharapannya sebab aku selalu membencinya. Dan di malam ini aku menyadari, betapa aku merindukannya. Betapa aku mencintainya dengan jiwa ragaku. Seorang sahabat yang selalu ada suka dan duka.
Bahkan keluarganya juga sangat menyayangiku. Aku tidak tahu apakah ini nyata atau tidak, tapi hujan itu semakin deras, diselingin dengan isak tangisku yang akhirnya disadari oleh temanku. Mereka bertanya perihal apa, tapi kujawab dengan tangisanku. Hingga mereka menenangkanku.
Aku benci hujan, sangat membencinya. Dia merenggut Raka Aditya dari genggamanku. Setidaknya aku belum pernah menjawab pertanyaannya atau pengakuan balik bahwa aku mencintainya.
Tulisannya bagus, tetapi masih ada peletakan paragraf yang kurang pas. Keep up the good work!
ReplyDeletewowowoww :)
ReplyDeletesemoga sulis-nya tak membenci hujan ^^v
ReplyDelete