Sunday, 3 November 2019
Truth or Dare [1]
"Boo!" Aku mengagetkannya malam itu, tepat 30 Oktober di hari ulang tahunku. Dia yang masih ketakutan dan sangat anti dengan Halloween, tapi aku tanpa rasa bersalah mendatangi rumahnya. Beberapa menit dia tidak menggubrisku, bahkan menghela napas untuk jengkel pun tidak ada sama sekali. Ekspresinya datar, dan aku yang jadi takut malam ini.
Kemudian dia berdiri dan menyalakan komputernya, seperti mencari sesuatu dan aku masih melihat gerak-geriknya dari belakang. Dan tidak berapa lama, aku mendengar suaranya tertawa terbahak-bahak layaknya orang kesurupan. Aku berusaha untuk tetap biasa saja, tapi suasana semakin mencengkam, aku akhirnya lari menuju pintu keluar. Sayangnya, langkahku tak secepat langkahnya, karena saat ini, di rumah itu hanya ada kami berdua. Dan dia sedang menatapiku yang sedang jantungan.
"Takut, ya?" tanyanya dengan senyum sumringah disusul oleh tawanya yang menggema di rumah itu. Persis saat itulah baru aku menarik napas dengan lega. Berapa kali aku memukulinya dan membuat dia memekik kesakitan. Tidak setimpal dengan jantungku yang berkejar-kejaran. "Gitu aja takut," balasnya.
Aku memilih untuk diam dan menyeduh tehku. Sedangkan dia terus menerus meminta maaf padaku. Beberapa kali aku melihatnya merasa bersalah, padahal aku sudah memaafkannya. Lagi pula salahku juga yang memancing dia duluan. "Satu syarat," ujarku.
Dia kemudian duduk di sampingku sembari mengiyakan. Aku langsung mengeluarkan catatanku dan menulis Truth or Dare di beberapa baris itu. Truth or Dare, sebuah permainan antara kejujuran atau tantangan. Setiap pemain harus bertanya bergantian. Kebetulan karena hanya ada dua pemain, maka ini hanya antara aku dan Usai.
"Truth or Dare?"
Bulu kudukku merinding, tanganku bergetar, kami berdua bertatapan seperti orang yang melihat setan padahal tidak. Setidaknya aku tidak melihat wujudnya, karena suara itu bukan antara aku dan Usai, sebuah suara sebelum kami sempat memulainya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)