"Truth or Dare? Pilih."
Suara itu kian dekat, membuat aku dan Usai saling bertatapan. Wajahnya pucat pasi, padahal kulitnya seharusnya tidak seputih itu. Dan tanpa kusadari, ternyata Usai memeriksa handphonenya sekaligus menghubungi teman-teman yang lain untuk datang ke sini.
"Jawab, Sinta." Jantungku berdetak tak karuan saat sosok itu menyebut namaku. Bersamaan dengan matinya lampu dan membuatku sontak berteriak. Bahkan wajah Usai tak lagi bisa kulihat. Sembari menghela napas, aku menjawab, "Truth."
"Di mana kau kemarin malam?" tanya sosok yang belum kelihatan wujudnya itu. Aku meneteskan mata perlahan, tak sanggup menceritakan kejadian pelik yang kualami kemarin.
"Aku berada di jembatan, menyaksikan sebuah mobil kecelakaan dan kemudian mobilnya hangus terbakar," jawabku sambil menutup mata agar aku tak pernah melihat sosok apa pun di gelapnya ruangan ini.
Tiba-tiba Usai berteriak, bahkan handphonenya terjatuh dan kursi itu bergetar seperti orang yang baru menerima kabar buruk. "Ibuku ... dia meninggal dalam kecelakaan di jembatan kemarin malam. Mereka baru mengabariku."
Seketika duniaku berhenti, permainan macam apa ini. Sungguh sangat tidak lucu, bahwa apa yang kemarin kualami bisa ada sangkut pautnya dengan yang terjadi malam ini. Sosok itu kemudian tidak terdengar lagi, lampu akhirnya hidup dan aku menemukan Usai dalam keadaan pingsan. Ternyata sejak tadi dia menangis dan terpukul akan kepergian ibunya.
"Ibuku berjanji, akan melihaku tumbuh dewasa bersama orang yang kucintai," isaknya. Usai berulang kali terseduh mengingat kenangan yang terjadi bersama kedua orang tuanya sebelum pergi. Saat itu ayah dan ibunya sempat bertengkar namun akhirnya baikan dan ibu memutuskan untuk ke luar kota. Sedangkan ayahnya tinggal di rumah bersamanya. Lucunya, ayahnya juga belum pulang setelah berangkat kerja tadi pagi. Sampai sebuah telepon datang dan membuat dia sontak mengunci semua area rumah.
"Truth or Dare?"