Well, sebenarnya banyak tulisan yang menuju deadline, tapi tanganku tidak sabar melanjutkan cerpen series ini. Karena ini merupakan episode terakhir. So, Here we go.
"You really deserves better. Jangan bertahan pada tindakan menyedihkanmu itu," (bestfriend the end)
“Menurut kamu gimana?” Pertanyaan itu sangat mengusikku. Berkali-kali aku berusaha menguntai kata agar Alina tidak sedih mendengar kenyataan menyedihkan yang aku pun bisa merasakannya. Namun berkali-kali juga Alina menepis apa yang kuucapkan, dan dengan polosnya hanya bertanya bagaimana menurutku.
Aku menarik napas perlahan, dan memegang bahu Alina seraya berkata, “Alina, aku ini sahabatmu, tidak mungkin aku berbohong padamu.”
“I don’t deserve him, you mean?” tanya Alina yang sontak membuatku cemas.
Wajah sedihnya cukup menjelaskan betapa kehilangan sosok seseorang yang sangat berarti, yang membuatku menyadari satu hal, aku telah salah menyuruh Arda untuk mundur. Ini salahku, akulah yang menyuruh Arda untuk tidak bertahan karena aku tahu Alina tidak cukup pantas untuknya.
Tapi entah mengapa saat melihat tetesan yang jatuh dari pelupuk mata perempuan itu, aku merasa menyesal dan lidahku seakan keluh untuk berterus terang, bahwa akulah penyebabnya.
Sekitar dua hari yang lalu, aku akhirnya membalas pesan Arda yang hampir tenggelam karena hanya sekali baca. Isi teksnya yang cukup menggemparkan setelah beberapa tahun ini Arda mengalah hanya untuk Alina, berusaha menerima sifat Alina yang tidak bisa komitmen, dan bermodalkan kepercayaan, Arda menerima Alina apa adanya.
Dan, aku menghancurkan kepercayaan Arda di kala itu.
“Arda, you really deserves better. Jangan bertahan pada tindakan menyedihkanmu itu, aku yakin pasti Alina mengerti.”
Teks itu awalnya tidak mendapat balasan apa-apa, namun pemandangan sore tadi cukup menjelaskan semuanya. Karena saat itu, Arda sedang tertawa lepas bersama perempuan yang aku kenal merupakan sahabatnya juga, dan bahkan lebih lama dari waktu perkenalannya dengan Alina. Awalnya kupikir perempuan itu memang menyukai Arda namun Arda memilih Alina, dan sekarang sepertinya tidak ada lagi cinta bertepuk sebelah tangan di antara mereka.
Dan beberapa menit kemudian, dering telfon yang aku tahu pasti dari sakuku melepaskan pelukanku dengan Alina. Saat Alina menatap layar handphoneku, ada kemarahan tersendiri di matanya, karena si penelpon itu adalah Arda.
“Kalian ada hubungan apa?” tanya Alina pelan. Aku hanya diam, aku tidak sanggup berkata-kata dengan setiap keputusan yang kubuat.“Angkat Raini,” sambung Alina yang membuatku semakin merasa bersalah. Kuberanikan mengangkat telpon itu sambil menatap Alina.
“Raini, terima kasih ya, kamu benar, Alina pasti mengerti.” Aku terdiam sejenak mendengar pernyataan yang keluar dari mulut Arda. Kumatikan telpon itu dan tanpa sadar, air mataku keluar. Aku memeluk Alina dan mengucapkan penyesalanku.
“Raini, di hari saat aku curhat padamu, aku mendengar ucapanmu, dan aku tidak tidur sama sekali, aku menyesal karena sudah bersikap seenaknya. Aku yakin aku memang tidak pantas untuk Arda, dia terlalu baik padaku. Kamu tidak salah, akulah yang menyesal. Aku berterima kasih kamu sudah menyadarkanku. Apa sudah terlambat untuk memulai kembali?” tanya Alina yang cukup membuatku terbius dengan ucapannya.
Aku mengusap air mata, lalu tersenyum seraya menggeleng menyatakan bahwa semuanya belum terlambat. Seketika Alina tertawa dan membalas senyumanku. Malam itu, cukup segala kejadian memilukan itu tertanam di sana, karena setelah hari berikutnya keadaaan semakin membaik. Aku, Alina, Arda, juga Ara akhirnya memutuskan untuk bersahabat dan memulai kembali semuanya. Bahkan Alina sendiri sudah bisa menghilangkan perasaannya dan tidak mudah jatuh cinta lagi.
“How about you?” tanya Arda
“How about me? Seperti biasanya, hanya seorang pengamat dan penikmat,” balasku yang diiringi gelak tawa mereka.
Bagus cerpennya, ajarin dong bikin cerpen yang kece. Aku udah lama main di non fiksi, ngefiksi jadi kaku nih..
ReplyDeleteKuy bertukar pikiran mba marita☺️
Delete