“Kau sangat cantik.” Gadis bernama Fani itu lagi-lagi bersemu merah dan tersenyum ramah. Semua orang yang menyapanya selalu membicarakan betapa cantik dirinya, Arfani Ramadhani.
Tapi, seorang laki-laki sangat membencinya, laki-laki itu bernama Anggara Wiguna. Seorang mahasiswa yang terkenal karena pandai berbicara di fakultasnya.
“Fan, besok presentasi ‘kan? Maaf ya, aku tidak bisa beberapa kali datang untuk membantu, nenekku sakit,” kata Farah yang kebetulan sekelompok dengan Fani.
Fani hanya tersenyum sambil menggeleng dan berkata, “tidak apa-apa, cepat sembuh nenekmu ya.” Farah tersenyum balik sambil mengucapkan terima kasih dan berlalu pergi. Dan karena itu pula, Fani dibicarakan karena pengertiannya.
Keesokan harinya, Fani mempresentasikannya dengan sangat sempurna. Bahkan dosen juga terpukau dengan bakat yang Fani punya, kecakapannya, dan tanggap dalam menjawab pertanyaan yang diajukan.
Tapi tidak dengan yang satu itu, Anggara menanyakan pertanyaan terakhir yang bertubi-tubi jawabannya. Saat Fani menjawab, Anggara tidak pernah setuju sampai waktu perkuliahan itu benar-benar selesai.
Annisa yang mulai penasaran akhirnya bertanya, “Ada apa dengan kau dan Fani?” Anggara hanya menghela napas dan membuang wajah menatap Fani.
Awalnya itu terasa biasa saja, lama kelamaan Fani sadar, ada yang aneh dengan Anggara sejak presentasi itu. Ada sesuatu yang pasti dibenci Anggara dari dirinya. Melihat semua orang sangat menyukainya, membuat Fani sadar, bahwa masih banyak orang-orang yang lebih tidak menyukaimu tapi tidak memperlihatkannya, dan Anggara bukan salah satu dari mereka.
“Anggara ‘kan?” sapa Fani saat berada di kantin fakultas. Sebelum kelas selanjutnya dimulai, Fani memberanikan diri untuk duduk di sebelah Anggara.
Bahkan sampai beberapa menit ke depan, Anggara hanya melahap makanannya tanpa menoleh sedikit pun ke arah Fani. Bahkan saat makanan itu habis dan Anggara membayar pesanannya, Fani tidak mendapatkan jawaban apa-apa.
Sejak saat itu pula, Fani tidak pernah menghiraukan ucapan semua orang. Fani hanya memikirkan sikap Anggara. Annisa yang merupakan sahabat Fani selalu berusaha mencari tahu masalah Anggara pada Fani, tapi Anggara selalu pergi bila ditanya tentang hal itu.
“Dia Anggara, setiap kali aku menyapanya, dia selalu mengalihkan pandangannya, seperti dia menghindariku, menurut Bunda, apa yang salah denganku?” tanya Fani pada Bundanya saat makan malam.
“Tidak ada yang salah, Nak, Bunda yakin bukan kamu masalahnya, sekarang habiskan makananmu,” jawab ibunya. Pembicaraan itu terhenti ketika ayahnya pulang dengan seorang laki-laki yang kira-kira sebaya dengan Fani.
Namanya, Erlangga Aditya, sepupu Fani dari Aceh Singkil. Erlangga datang bersama tantenya, tapi hanya ia yang menginap di sini. Selepas pembicaraan itu, Fani pergi ke kamarnya.
Keesokan paginya, Erlangga terlihat memanaskan motor dan menunggu seseorang, lebih tepatnya Fani. Ayahnya memberi amanah pada Erlangga agar menjaga Fani. Karena jarak yang cukup jauh ke kampus, Fani mencoba bertanya tentang hal yang sama perihal Anggara.
“Aku juga jika jadi Anggara, pasti tidak akan melihatmu.” Jawaban itu menggetarkan Fani, membuatnya tertohok hingga bertanya, “Kenapa?”
Sesampainya di parkiran, Erlangga akhirnya menjawab, “Lihat sekelilingmu, Fani, kau seorang muslim di Universitas ini, tapi kau masih menggerai rambut indahmu, memakai celana jeans, di daerahku tepatnya Aceh Singkil, mereka bahkan menutup wajahnya.”
Setelah mengucap kalimat itu, Erlangga pergi dengan sepeda motornya. Fani terpaku, bahkan kakinya tidak lagi sanggup berjalan. Tepat saat itu pula, Fani bertemu Anggara di koridor kampus, tanpa menoleh dan acuh tak acuh.
Semua orang seperti memakai topeng menunjukkan kebenciannya. Mereka memuji Fani yang sebenarnya menunjukkan penghinaan. Dan sejak saat itu pula, pandangan Fani berubah. Fani lebih pendiam dan membuat semua orang bertanya-tanya.
Hingga beberapa minggu kemudian, penampilan Fani berubah. Semua orang membicarakannya, dari mulai hijab yang Fani kenakan, rok panjang bak seorang muslimah, dan sepatu kets yang biasa dikenakannya berubah menjadi sepatu pancus dengan kaos kaki berwarna oranye layaknya stocking.
“Ada apa dengannya?”
“Apa yang terjadi padanya?”
“Kenapa dia berhijab?”
Tapi tak satu pun tahu apa penyebabnya. Dan sekarang, Anggara tersenyum menatapnya. Karena beberapa hari yang lalu, sejak Fani berubah jadi pendiam, Anggara berkata, “Aku tahu kau tersadar sesuatu, aku yakin kau berpikir aku membencimu, tapi Fani, aku hanya menjaga pandanganku, kau terlalu mengumbar auratmu, dan kau bergaul dengan orang-orang yang salah.”
Selepas itu, Fani akhirnya tahu bahwa itu dinamakan hijrah. Anggara hijrah menjaga pandangannya dari setiap wanita, ternyata bukan hanya dia saja. Dan sekarang, Fani juga memutuskan untuk berhijrah. Mulai dari hijrah penampilan, perilaku, bahkan Fani juga menolak mengobrol dengan laki-laki lewat chat hanya karena tidak ingin saling mengungkapkan perasaan kecuali bila itu menyangkut tugas kuliah.
Semua orang tidak pernah memuji Fani lagi, cadar yang ia kenakan, menutupi wajahnya. Semua akunnya diprivate, bahkan Fani menghapus seluruh fotonya tanpa hijab di sosial media, berhenti mengikuti artis-artis yang membuat zina mata.
Fani lebih banyak menghabiskan waktu di Masjid dan mendengarkan ceramah. Pernah ia mendengar ustadz berkata, “Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan. Begitulah isi surah At-Taubah ayat 20.”
“Hijrah memiliki dua makna. Ada hijrah secara makna (ma’nawiyyah) dan ada hijrah secara fisik (makaniyyah). Hijrah secara makna adalah hijrah kepribadian, dari keadaan pribadi sebelumnya kepada keadaan pribadi yang lebih baik secara lahir dan batin. Adapun hijrah secara fisik adalah perpindahan dari satu tempat ke tempat yang lain yang situasinya lebih baik.”
Fani tidak pernah malu berhijrah, bahkan semenjak itu terjadi, semakin banyak orang yang salut dengannya, meminta pendapat, bahkan semua yang ia kerjakan semakin mudah. Allah memang memberikan kemudahan bagi yang berhijrah dengan diri mereka sendiri.
“Aku tahu ini akan menjadi perjalanan panjang bagimu, tapi aku yakin kau bisa, kau berhijrah, aku pun hijrah, jadikanlah ini hijrah kita bersama, aku akan selalu menemanimu jika kau membutuhkanku.” Anggara berlalu pergi setelah memberikan nasehat itu.
Anisa yang sebelumnya selalu bertanya, akhirnya mengerti, dan mencoba untuk berhijab walau belum sepenuhnya hijrah. Sedangkan Afni, perempuan yang dulunya dikucilkan karena sendirian berhijab, akhirnya mulai bergaul dengan Fani.
Orang-orang akan tahu siapa dia lewat teman-temannya. Bahkan saat Afni ditembak oleh seorang mahasiswa bernama Ali yang sebenarnya juga Afni sukai, tetap ditolaknya, dan sekarang hijrah itu melekat di diri mereka masing-masing. Ada saatnya orang berubah, dan inilah waktu bagi mereka.
“Hijrah kita. Awal baru yang lebih baik.” Mereka tersenyum sambil tertawa membuat semua orang nyaman melihatnya.
Mantab ukhti...
ReplyDelete