Sunday 27 October 2019

Sepenggal Mawar

4 comments





“Aw!” pekik Ani saat kakinya menginjak kulit pisang dan membuat pantatnya harus mencium tanah.

“Hahaha.” Gelak tawa terdengar dari beberapa mulut anak sekolah yang hanya berjalan tanpa menghiraukan Ani yang masih duduk memijit kakinya yang memar.  

Bukan sekali dua kali ia melalui hal semacam itu, melainkan berulang kali dan semakin parah. Semua orang menatap wajahnya dengan sinis seperti hendak menerkam mangsa yang kakinya sudah terluka.
 
Tapi, satu hal yang baru terjadi pada hari ini ialah laki-laki itu. Laki-laki berseragam putih abu-abu dengan badan kekar tinggi mengenakan pangkat tiga di dasinya, menandakan ia merupakan siswa kelas dua belas.  

“Kau tidak apa?” tanya laki-laki itu padanya yang masih ternganga diam di tempatnya. Wajah laki-laki itu sangar, tapi tatapan matanya begitu menghanyutkan.

Mendengar Ani bahkan tidak berkutik, laki-laki itu pun menjentikkan jarinya agar menyadari bahwa laki-laki itu sedang bertanya padanya.

“Kau siswi kelas sepuluh, bukan? Aku bisa mengantarmu ke UKS jika kau mau.” Laki-laki itu menawarkan bantuan sambil mengulurkan tangannya, membuat Ani seperti menatap malaikat yang tercipta di bumi.  

Tanpa berlama-lama, Ani menyambut uluran tangan itu dengan senyum tipis namun tulus. Tangannya yang semula perih mendadak hangat saat menyentuh tangan laki-laki itu. Laki-laki yang ternyata memiliki bet nama dengan tulisan Ibrah. 

Jarak UKS dari tempat Ani jatuh tidak begitu jauh, sehingga dalam beberapa menit saja, mereka sudah sampai di UKS yang penuh dengan siswa-siswi yang malas pulang ke rumah dan memilih untuk tiduran dalam UKS yang sejuk itu.

Sekolah yang memiliki kelas yang banyak, namun fasilitas yang sedikit. Seperti kotak P3K yang bahkan sudah habis dan tidak pernah diganti. Perpustakaan yang tidak banyak memiliki buku pelajaran. Serta senioritas tinggi dengan pembullyan yang sering terjadi.

Hampir satu bulan Ani di sini dan tidak sedikit pun ada penyambutan istimewa tentang sekolah ini. Sekolah yang katanya favorit tapi tidak menghasilkan murid-murid yang memiliki sopan santun, modal pintar hingga bisa mencapai jenjang kuliah yang lebih tinggi. Itulah yang selalu disesali Ani sampai saat ini.  

“Aku minta maaf mewakili Kepala Sekolah yang sampai saat ini belum melengkapi fasilitas, termasuk UKS. Jadi, jika kau tidak keberatan, biar aku antar pulang saja,” kata Ibrah dengan wajah datar namun dengan mata yang begitu tulus.

Ani lagi-lagi mengangguk dan mengikuti Ibrah menuju parkir untuk mengambil motornya segera. Tepat di saat itulah Ani merasa ada sesuatu yang tertinggal di kelasnya. Ani bahkan sengaja balik menuju kelas hingga ia terpeleset hanya untuk mengambil benda itu, tapi sekarang ia melupakannya.

Secepat mungkin Ani berbalik menuju kelas dan mengambil smartphonenya yang tergeletak sembarang di atas mejanya. Terlebih lagi, lacinya sudah mendadak bersih dan tidak ada lagi bekas sampah tempat biasa teman-temannya yang lain meletakkannya. 

Dan benar saja, kecurigaannya semakin timbul saat tiba-tiba setangkai bunga mawar oranye telah terpapar rapi di laci paling sudut dengan wangi yang begitu harum dan segar. Mawar terindah yang pernah Ani lihat sepanjang hidupnya.   

Tiba-tiba Ani terlupa lagi akan Ibrah. Ani kembali melupakan sesuatu yang pada akhirnya menghilang. Karena Ibrah bahkan sudah tidak terlihat lagi di sepanjang parkir. Yang tersisa hanya beberapa motor berplat merah, menandakan bahwa yang masih tinggal hanya guru. Mau tidak mau, Ani terpaksa berjalan kaki menuju rumahnya yang tidak begitu jauh dari sekolahnya.

Tepat keesokan harinya, setelah Ani bersiap hendak pergi, lagi-lagi ibu dan ayahnya tidak bisa mengantarnya. Hal tersulit yang paling Ani lakukan adalah pergi naik becak dan ibu ayahnya naik mobil bersama. Bahkan apa pun keluhan Ani takkan pernah tersampaikan melihat betapa sibuk orangtuanya dalam mengurus pekerjaan.  

Setibanya Ani di sekolah, ia lagi-lagi disambut dengan tatapan sinis dan kakak kelas galak yang senantiasa menghukum Ani untuk mencabut rumput, menyaring sampah dan bahkan disuruh untuk mengerjai murid-murid lain dengan menggantung tasnya bahkan jika pun ia tidak pernah terlambat.  

“Hey, kau lihat tas berwarna merah itu? Cepat kau bawakan ke kelas dua belas IPA dua, katakan bahwa itu tasmu, Evelyn akan memastikannya nanti.” Greta sudah sering melakukan hal semacam ini berulang kali, membuat Evelyn merasa tidak akan pernah dihukum sepanjang hidup akan keterlambatan karena dengan mudah, ada saja siswa kelas sepuluh yang membawakan tasnya.  

Dengan hati setengah paksa, Ani membawakan tas merah yang bahkan tidak bisa disebut tas karena tidak berat seakan buku tidak pernah berada di dalamnya. Tepat saat Ani berada di depan pintu, ia melihat Ibrah sedang berdiri sambil memasang dasinya. Ingin ia menyuruh Ibrah untuk meletakkan tas itu saat tiba-tiba Evelyn datang dan mengambil tas itu dan menyuruhnya untuk pergi.

Ibrah bahkan tidak memandangnya, tidak menunjukkan rasa bersalah sedikit pun karena meninggalkannya kemarin. Membuat ia berpikir dua kali untuk menganggap bahwa Ibrah berlaku istimewa padanya.  

Bahkan pelajaran matematika kesukaannya mendadak menjadi hal paling membosankan karena pikiran tentang Ibrah yang terus mengganggunya. Hingga bel berbunyi dan lagi-lagi ia menunggu beberapa jam untuk memastikan bahwa kulit pisang tidak akan lagi membuatnya jatuh.  

Seperti biasa, Ani membersihkan kelas sebelum pulang, dan lagi-lagi bunga mawar oranye itu terpapar rapi di lacinya. Membuat perhatiannya akhirnya tertuju penuh pada seseorang yang memberikan bunga mawar berwarna oranye.  

“Tolong aku!” Seorang siswa menjerit ketakutan saat para senior itu mengeluarkan semua isi tasnya dan berlalu begitu saja. Pemandangan paling suram yang dapat dilihat dari kaca jendela.  

Ani berjalan menuju laki-laki itu dan membantu membereskan peralatannya, kalau tidak saja bunga mawar oranye itu membuat matanya mengerling bertanya-tanya.  

“Ayahku mengirim mawar ini pada ibu saat melamarnya. Berarti bahwa ayah ingin menjadi bagian dari hidup ibu. Aku bisa membawakanmu bunga ini jika kau tertarik.” Laki-laki itu tersenyum seakan menjawab pertanyaannya. “Lutfi.”  

Lutfi tipe laki-laki kutu buku dan memakai kacamata. Lutfi juga mengenalkannya macam-macam bunga, dimulai dari sexy red, red passion, white avalance, pink universe, sampai voodoo, bunga oranye yang kerap menghantuinya.  

Ternyata orangtua Lutfi seorang penjual bunga dan memiliki kebun bunga tersendiri yang membuat Ani semakin tertarik bersama Lutfi. Selain karena Lutfi juga kelas sepuluh, ia juga merupakan tipe laki-laki yang tidak kasar. Sampai hal itu akhirnya menjadi rumor dan kakak kelas sering menghina mereka berdua.  

“Hey, kau yang bernama Ani, bukan? Jadi kau sudah berpacaran dengan Lutfi? Selamat ya.”  

Ani bahkan tidak menggubris tatapan hinaan dari semua kakak kelas. Sedangkan Lutfi tetap tenang menghadapi situasi. Bahkan sampai enam bulan, Ani resmi bersahabat dengannya. Tapi sampai saat ini pula, seorang pengirim mawar itu tidak pernah Ani temukan.  

Satu kali Ani tidak sengaja mendapati seorang laki-laki menyelundupkan bunga mawar itu, tapi secepat kilat pula laki-laki itu berlalu tanpa terlihat wajahnya.

“Kau beruntung, Lutfi,” kata Ani pelan saat Lutfi mengajaknya ke Taman yang penuh dengan bunga saat di penghujung semester satu sebelum mereka sama-sama berlibur.   

“Tidak ada orang yang beruntung Ani, kau menganggap mereka beruntung hanya karena kau berpikir bahwa hidupmu tidak seperti yang kau bayangkan, banyak orang yang ingin bertukar tempat denganmu, dan kau ingin bertukar tempat dengan orang lain, kadang hidup sekejam itu, Ani,” balas Lutfi sambil tersenyum dan menghirup wangi bunga yang menyengat.  

“Kau ingin bertukar tempat denganku?” tanya Ani.

“Hanya jika aku perempuan sepertimu, aku mau,” jawab Lutfi sambil berjalan dan memetik setangkai bunga mawar oranye. “Berikan pada seseorang yang kau yakin kau ingin memilikinya.”  

Ani menerima mawar oranye itu sambil tersenyum dan akhirnya terpikir pada seseorang yang pertama kali menolongnya, seseorang dengan mata teduh layaknya malaikat, dan pergi menghilang seperti hantu, seseorang yang bernama Ibrah.

Senin itu, Ani sengaja datang pagi sekali dan berencana menaruh mawar oranye itu ke laci Ibrah. Ani yakin tidak akan ada seorang pun yang tahu dan ia hanya mengucapkan terima kasih karena sudah menolongnya, walaupun bukan itu arti sebenarnya.

Ani dengan mudah mengenali meja itu, meja yang sudah diberi identitas untuk mengikuti try out UN siang nanti. Bunga itu persis ia letakkan di laci dengan surat bertuliskan terima kasih dan sesegera mungkin menuju kelas.
  
Tapi berhari-hari tidak ada tanda-tanda Ibrah mendatanginya seperti hanya berucap sama-sama. Membuat Ani khawatir dan akhirnya nekat mendatangi Evelyn dan menanyakan di mana Ibrah.

“Harusnya aku curiga kau menyukainya, dia sakit berhari-hari sejak kecelakaan itu.” Seakan menjawab keterkejutannya, Evelyn melanjutkan, “Di penghujung semester satu, ia ditemukan memar dan luka di sekujur tubuhnya di sekitar Taman, aku juga tidak mengerti kenapa ia sering sekali ke tempat itu. Beruntung setelah itu liburan, dan dia dirawat di Rumah Sakit Metta Medika selama dua minggu, kadang-kadang dia masuk, kadang sakit dan harus pulang.”  

Seakan ada sayatan pisau yang begitu dalam dan membuat hatinya remuk tergores. Saat itu ia berada di Taman bersama Lutfi dan bahkan tidak melihat Ibrah. Air matanya ingin bercucuran akibat tertohok sakit di sekujur tubuhnya.  
“Lutfi, apa kau pernah mengirim bunga padaku?” tanya Ani sehari setelah kejadian itu.
“Belum. Tapi mungkin nanti aku akan mengirimnya,” jawab Lutfi tersenyum tulus. Dunia seakan hambar dan jantungnya seakan mati. Ibrah dan si pengirim mawar terus menghantuinya, membuat wajahnya kusut memikirkan semua kemungkinkan. Ia ingin menjenguk Ibrah, tapi ia tahu ia bukan siapa-siapa. “Ani, aku tahu siapa orangnya.”

Tanpa berlama-lama, Ani menyuruh Lutfi mengantarkannya pada orang itu. Sampai hawa rumah sakit menusuk hidungnya, menandakan bahwa pengirim itu tidak sedang baik-baik saja.  

Dan tepat saat ia berada di balik ruangan itu, laki-laki itu terbaring pucat dengan impus yang melekat di tangannya.  

“Ibrahim Reynaldi, laki-laki itu adalah dirinya.” Seketika tangis Ani tumpah dan terduduk begitu saja serta bersandar di bahu Lutfi yang menenangkannya. Kekesalannya terhadap Ibrah mencair begitu saja, ketakutan luar biasa akan kenyataan bahwa Ibrah tak akan pernah bangun lagi.
Teringat akan bunga mawar itu, ia akhirnya berlari menuju Taman dan mencabut satu bunga dan mengantarkannya pada Ibrah. Tepat di samping kasurnya saat suster memberikan izin untuk menemuinya.  

“Aku membencimu Ibrah, di hari pertama kita bertemu dan kau meninggalkanku, aku membencimu karena kau selalu mengirim mawar itu tanpa menunjukkan identitasmu, aku benci kau tidak pernah menatap mataku lagi,” katanya parau sambil menangis. “Dan akhirnya membuatku harus mengirim kembali bunga itu untuk berterima kasih atas semuanya.”


Tiba-tiba dunia seakan berhenti saat laki-laki terdengar bersusah payah mengeluarkan suaranya. Ibrah menggerakkan tangannya sambil berkata, “Kau mengirimku bunga?”

Ani yang semula menangis akhirnya bahagia mendengar bahwa Ibrah masih baik-baik saja. Bahkan setelah kejadian itu, Ibrah semakin membaik, dan semakin dekat pula dengan Ani sampai Ibrah lulus dan kuliah di Universitas favorit.  

“Kau tahu kenapa aku mengirimimu bunga mawar?” tanya Ibrah di bandara sebelum ia berangkat menempuh pendidikan yang lebih tinggi.

“Aku juga tidak tahu bagaimana mungkin kau ingin menjadikanku bagian dari hidupmu padahal aku baru mengenalmu,” jawab Ani.

Sambil tesenyum, Ibrah melengkapi kebahagiaannya dengan menjawab semua keraguan yang sedari dulu ia tanyakan dengan  berkata, “Awalnya itu hanya sebuah tantangan, saat seseorang menginjak kulit pisang itu, aku harus mengiriminya bunga, dan aku mengambilnya dari namamu, tapi rasa penasaranku semakin timbul saat kau tidak memarahiku padahal aku sengaja meninggalkanmu, dan aku mulai cemburu dengan Lutfi, sampai akhirnya kau memberiku semangat hari itu, aku yakin kau akan menungguku untuk menjadi bagian dari hidupmuAnita Mawar Rahmadani, aku ingin kau tahu bahwa, aku juga mencintaimu. 
Dan sepenggal mawar itu menjadi saksi bisu bagaimana cinta itu bermula.

4 comments:

  1. Sepenggal kisah.
    Mungkin ada maksud lain dari kata yang tidak lazim, 'Sepenggal Mawar' yang biasanya disandingkan dengan sekuntum mawar atau setangkai mawar.
    Terus kata yang bisa diminimalisir lagi. Ceritanya anaka abege nih. Mantap

    ReplyDelete
  2. Mantap Kakak, keren sekali tulisannya #semangat

    ReplyDelete

Terima Kasih telah membaca. Akan sangat dihargai jika diberi kritik dan saran juga hal menarik lainnya yang akan dibahas :)

Labels

Cerpen (37) Wacana (18) Artikel (12) Puisi (8) Drabble (7) Sad Story (7) Review Blog (3) Ulasan (3) Essay (2) Lagi Viral (2) Resensi (2) Review Film (2) Review Series (2) Tips (2) Biografi (1) Quotes (1)