“Selamat, kamu diterima, Nak.” Hari itu, adalah hari penuh kebanggaan bagiku, karena butiran kecil itu mengalir dari pipi ibuku. Raut wajah yang penuh suka cita dan terharu. Kedua adikku memelukku erat, tapi tidak dengan ayahku. Ia lebih memilih terduduk diam di atas kursi kebanggaannya dan merokok dengan ganasnya.
Sudah beberapa kali aku memilih diam dan tidak bertegur sapa karena sikap acuh tak acuh yang diberikan pada ayahku sejak aku mulai remaja. Bahkan aku sering mendengar pertengkaran hingga menimbulkan suara gaduh di malam hari.
Dan hari ini ibuku membelikan kami makanan, seperti ayam penyet, mie ayam, martabak mesir, dan makanan kesukaanku yang lainnya. Aku memakannya lahap sambil menyuapkan Chairul. Dan tiba-tiba, suara klakson itu menyeruak ke ruang tamu. Aku buru-buru melihat siapa yang datang dan sesuai tebakanku, itu adalah Putri. Aku dan dia memang akan berangkat malam ini untuk mulai kuliah di awal September.
Aku memasukkan barang dan kemudian memeluk ibuku. Perlahan air mataku mengalir dan aku tersedu sembari mencium pipi ibuku. Sesaat aku menelusuri, aku tidak menemukan sosok ayahku. Aku tidak merasakan pelukan ayahku sejak aku mulai remaja, seakan-akan ayahku hanya pelengkap keluarga.
Sopir Putri tersenyum menatap keluargaku dan membunyikan klakson dengan ramah. Aku melambai pada Rifqan dan Chairul, karena aku yakin, aku pasti akan merindukan mereka.
Keesokan harinya, aku melihat pemandangan pagi hari yang begitu indah, pepohonan yang rindang, angin sejuk, dan burung berkicauan sepanjang perjalanan. “Kau kelihatan lelah, mobil ini sudah tiga kali berhenti,” kata Putri.
Aku hanya tertawa dan melihat perumahan yang begitu mewah. Berbeda dengan kampungku yang terpencil, Kota Medan adalah sepuluh kali lipatnya. Tapi karena itu pula, kami bisa terjebak macet yang begitu parah.
“Kau bisa tinggal di rumahku sementara,” ucap Putri.
Aku hanya mengangguk dan mengangkat barang-barangku ke rumah Putri yang megah. Bagaikan istana dan jauh berbeda dengan rumahku. Putri menunjukkan kamarku yang berada di atas. Tapi aku tak menemukan suatu foto pun yang terpampang di rumah itu, seakan rumah itu memang untuknya.
“Ibu dan ayahku jarang pulang, mereka bekerja pada pagi hari, dan malam hari mereka ke luar kota, tepat sekali kau tinggal di sini,” kata Putri. Entah kenapa mendengar penuturan itu, dadaku terasa sesak. Dan kemudian, aku merindukan sosok orang tuaku. Setelah Putri masuk ke kamar, aku pun terbaring di atas springbed itu, dan mulai terlelap.
Pukul 07.00, aku berangkat bersama Putri, karena kampusnya lumayan jauh, maka kami berangkat setengah jam lebih awal. Tapi, akibat macet yang terlalu parah, kami harus telat sepuluh menit.
Untungnya, dosen pada saat itu belum aktif masuk, dan kami masih dalam fase pengenalan, dan aku menjadi sosok yang paling dikenal karena keaktifanku dalam grup Line mengakibatkan semua orang penasaran padaku. Semua orang menyapaku dan tersenyum. Sedangkan Putri hanya terdiam dan duduk di bawah pohon rindang itu sendirian.
Aku bertanya, “Kenapa kau melamun?” dia menjawab, “Aku hanya menikmati momen ini sebelum semuanya berubah.”
Setelah beberapa hari berlalu, aku menyadari bahwa Putri dan aku tidak sekelas, dia kelas C, dan aku kelas B. Aku mulai jarang melihatnya, dan tak pernah kutemukan sosoknya yang selalu menungguku. Sampai laki-laki itu datang.
“Ternyata kamu. Menunggu siapa? Ayo kuantar pulang.” Rama mengantarku kala itu. Tapi sesampainya aku di rumah, aku tidak mendengar suara. Bahkan satpam penjaga rumah itu mengatakan bahwa Putri tidak ada di dalam.
Karena aku kelihatan kebingungan, Rama menawarkanku tempat tinggal sementara dan menuju ke rumahnya. Bahkan ibunya juga terkejut saat tahu aku menginap di rumah Rama. Rama tidak pernah sekali pun membawa perempuan ke rumahnya. Dan pada akhirnya, aku tidur di kamar kakaknya.
Keesokan harinya, aku terbangun, dan melihat Rama shalat, dan aku tersadar bahwa aku tidak pernah menjalankan shalat lima waktu itu sejak aku meninggalkan kampungku. Aku kemudian shalat, mandi, sarapan, dan berangkat bersama Rama.
Tidak ada yang curiga dengan semua itu, sampai akhirnya, aku melihat foto itu tersebar di grup. Aku dan Rama di atas sepeda motor pada malam hari. Entah siapa yang menyebarkan dan menambahi bahkan memfitnahku. Semua temanku menjauhiku, mereka berpikir aku bukan perempuan baik-baik. Begitu pula Rama yang tidak pernah kelihatan dan ikut menjauhiku.
Kala itu, semuanya berubah. Aku yang awalnya ditegur dengan senyuman, sekarang dengan tatapan penuh kehinaan. Bahkan sejak kejadian itu, aku benar-benar terkucil selama sebulan lamanya. Sampai aku menangis, dan merangkai untaian kata dalam sebuah kertas kecil.
Kuperdengarkan kicauan yang mengusik sanubariku, mengecam dan menusuk paksa ke jantungku, seakan membanting pintu nurani, dan menjadikan butiran itu mengalir dari pipiku. Gemetar yang teramat sangat dan usikan yang menyengat. Berkumpul menjadi satu, bertumpu untuk menyatu. Atau memang, takdir berkata begitu, untuk semua keheningan sesaat, aku bukanlah yang terhebat, tapi kicauan itu menumbuhkan semangat. Sebelum kaki itu terus berlutut, atau bahu itu tidak sanggup bangkit, aku masih terombang-ambing. Berusaha menyisakan kenangan, tapi tetap saja, yang timbul hanya penyesalan.
Tanpa seorang teman, aku menghadapi hari-hari dengan penuh semangat, mencoba melupakan semua kicauan yang semakin meluas. Aku bahkan takut jika beasiswaku dicabut hanya karena masalah ini.
“Allisa Andriani!” Aku terbangun dari lamunan, dan melihat wajah dosen itu marah. Aku perlahan maju ke depan dan mendengar ocehan dosen itu, sampai pegawai itu datang dan mengubah ekspresi dosen kalkulus itu.
“Riani, duduklah.” Aku terduduk, dan melihat kedua orang itu. “Aku yakin kau tidak ingin mendengarnya tapi, ayahmu meninggal dunia tadi pagi.”
Aku membenci ayahku, bahkan aku tidak pernah mengakuinya sejak aku remaja, menyembunyikan fisik ayahku, tapi ketika aku tahu sekarang aku tidak perlu menyembunyikannya, aku menangis dan dadaku sesak. Aku ingin pulang.
Saat itu, aku melihat ayahku terbaring dengan kain kafan. Aku memeluknya erat untuk terakhir kalinya, dan berdoa dengan penuh hikmah pada Allah, doa yang tidak pernah aku panjatkan selama ini, hanya kepada Allah aku bertaubat dan ayahku kembali kepada-Nya. Aku patut dihukum karena sifat benciku, dan aku menerima semua musibah ini, kepada Allah aku memohon ampun.
“Yaasin.” Dan suara itu menggetarkan bahuku.
Ayahku selalu mendengar tawaku, dia memang sudah lama sakit, dan dia menyayangiku. Dia ingin aku menjadi Sarjana Teknik, dan membelikanku sepeda motor yang kuinginkan sejak dulu.
Di hari pemakaman itu, Putri yang tidak pernah kelihatan wujudnya, akhirnya menemuiku. “Ri, aku minta maaf untuk semua yang terjadi, akulah yang memfitnahmu karena aku cemburu, aku sengaja meninggalkanmu karena aku kesal dan tanpa berpikir panjang menyebarkan itu, please maafin aku,” ucapnya sambil menangis dan memelukku.
Sejujurnya aku tidak pernah dendam dan sudah melupakan kejadian itu meski aku tidak tahu siapa orangnya, dan walaupun hatiku tersayat karena ulah sahabatku sendiri, aku belajar untuk ikhlas dan tersenyum memaafkan. Seiring berjalannya waktu akhirnya teman-temanku kembali seperti dulu, bahkan mereka jauh lebih baik. Begitu juga dengan Rama yang akhirnya bisa menerima Putri.
“Aku berjanji Ayah, akan mengabulkan permintaanmu, dan tidak pernah meninggalkan shalatku. Aku akan menjadi Sarjana Teknik yang ayah perjuangkan untukku, aku juga akan belajar dengan sungguh-sungguh untuk bekerja dan membiayai adik-adik, semoga Ayah tenang ya, kami di sini mendoakanmu.” Aku meneteskan air mata setelah mengunjungi makam ayah dan kupeluk ibu seerat yang kubisa. Seolah mengatakan bahwa aku sangat menyayangi keduanya.
Mantap sekali kakak #semangat
ReplyDeleteSedih sekali kak...
ReplyDeleteApalagi pas ayahnya meninggal dan sahabatnya memfitnah...
Bagus kak ceritanya
tetap semangat...
ReplyDeleteMasya Allah... Haru
ReplyDeleteMewek klo baca tulisan tentang Ayah 😭
ReplyDeleteAkan terasa benar-benar kehilangan saat dia telah tiada 😭😭
ReplyDelete