Sunday, 6 October 2019

Sampuraga

6 comments
Oleh: Sulis Rahmadani Hutagalung 


Sampuraga adalah kisah seorang pemuda di daerah Padang Bolak. Kisah ini sudah lama beredar bahkan ada bukti nyata, yakni adanya kolam air yang sangat panas di daerah Mandailing Natal. Bahkan kisah ini juga ada lagunya, dan diceritakan bagaimana asal mula Sampuraga. Tentang seorang pemuda yang merantau untuk mencari rezeki demi menghidupi ibunya.

Alkisah, hiduplah di sebuah gubuk reot seorang janda tua dengan seorang anak laki-lakinya yang bernama Sampuraga. Meskipun hidup miskin, mereka selalu menyayangi satu sama lain. Bahkan mereka rela bekerja di ladang milik orang lain hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup.

“Hai Sampuraga,” sapa pemuda yang berlalu lalang di ladang itu. Karena begitu senangnya mereka pada sosok sampuraga yang jujur dan sangat rajin. Hingga pada suatu siang, Sampuraga bersama majikannya beristirahat di bawah sebuah pohon yang rindang setelah bekerja sejak pagi. Sambil menikmati makan siang, mereka berbincang-bincang dalam suasana akrab. Seakan tidak ada jarak antara majikan dan buruh.

“Wahai, Sampuraga! Kau adalah sosok anak yang rajin, umurmu pun masih muda, lebih baik kau merantau untuk mencari pekerjaan yang lebih layak, kau pasti menemukannya di negeri tersebut” Sang Majikan menepuk pundaknya sambil tersenyum.

“Negeri manakah yang Tuan maksud?” tanya Sampuraga penasaran, “Negeri Mandailing namanya. Di sana, rata-rata penduduknya memiliki sawah dan ladang. Mereka juga sangat mudah mendapatkan uang dengan cara mendulang emas di sungai, karena tanah di sana memiliki kandungan emas,” jelas sang Majikan. Mendengar hal itu, Sampuraga sangat senang seolah mimpinya terjawab.

“Sebenarnya, saya sudah lama bercita-cita ingin pergi merantau untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Saya ingin membahagiakan ibu saya,” kata Sampuraga dengan sungguh-sungguh. Terlihat keinginan yang mendalam di mata pemuda rajin itu, hingga majikan pun tak segan memujinya.

“Kau pasti bisa Sampuraga, apalagi dengan cita-cita muliamu itu,” puji sang Majikan. Dengan bergegas, Sampuraga pulang ke rumah ibunya setelah sebelumnya mengulurkan tangan mengucapkan terima kasih kepada majikannya. Sampuraga menceritakan segala hal yang diucapkan oleh majikannya.

“Bu, bolehkah Raga merantau untuk memberikan kehidupan yang layak untuk ibu? Agar hidup kita pun bisa makmur, Bu” ucap Sampuraga kepada ibunya.  

“Ke manakah engkau akan pergi merantau, anakku?” tanya ibunya memastikan di mana tepatnya anaknya akan bekerja. Anak yang dia panggil dengan sebutan Raga.

“Di Negeri Mandailing, Bu. Mereka menyebutkan bahwa tempat itu tanahnya subur, orang-orangnya makmur, bahkan majikan Raga sendiri menyuruh Raga untuk merantau ke sana,” jelas Sampuraga kepada ibunya yang hanya dijawab dengan anggukan lantas sesenggukan.

Tanpa melarang anaknya, ibunya pun berucap, “Pergilah, anakku! Meskipun ibu sangat khawatir kita tidak bisa bertemu lagi, karena usia ibu sudah semakin tua, tapi ibu tidak memiliki alasan untuk melarangmu pergi. Maafkan Ibu, Nak, Ibu tidak bisa memberikan kebahagiaan yang kau inginkan.” Kemudian, ibunya pun memeluk Raga.

“Terima kasih, bu! Raga berjanji akan segera kembali jika Raga sudah berhasil. Mohon Doa dan Restunya buat Raga, ya Bu!“ Sampuraga dengan bahagianya menyalam ibunya dan dibalas pula oleh ibunya.

“Ya, anakku! Siapkanlah bekal yang akan kamu bawa!”  seru sang ibu. Setelah mendapat doa restu dari ibunya, Sampuraga pun segera mempersiapkan segala sesuatunya. 

Keesokan harinya, Sampuraga berpamitan kepada ibunya. “Bu, hari ini Raga akan berangkat, jaga diri ibu baik-baik, jangan sampai sakit, tetaplah sehat hingga Raga pulang, dan jangan terlalu banyak bekerja keras!” saran Sampuraga kepada ibunya.

“ Jangan lupa cepat kembali jika sudah berhasil!” Ibu Raga sangat berat melepas kepergian itu, tapi ia juga berpesan agar Raga tidak melupakan jati dirinya dan pulang saat sudah berhasil.

Hati Raga bagai dihujam pisau, tak sanggu berpisah dengan ibundanya. Ibunda yang kerap selalu bersamanya sedari dulu ditinggalkan dalam kondisi dengan gubuk reot ini. Air mata tak terbendung, dan menetes begitu saja dari pelupuk matanya. Lagi dan lagi, ibunda kemudian menepuk pundaknya sambil berkata, “Sudahi air matamu. Jika memang takdir, kau akan pulang, Nak, tetaplah ingat siapa jati dirimu.”

Setelah itu berangkatlah Sampuraga meninggalkan ibunya seorang diri. Berhari-hari sudah Sampuraga berjalan kaki menyusuri hutan belantara dan melewati beberapa perkampungan. Bahkan tantangan di hutan belantara tak lagi merupakan resiko besar demi pencapaian dalam hidupnya.

Hingga suatu hari, sampailah ia di kota Kerajaan Pidoli, Mandailing. Ia sangat terpesona melihat negeri itu. Penduduknya ramah-tamah, masing-masing mempunyai rumah dengan bangunan yang indah beratapkan ijuk. Sebuah istana berdiri megah di tengah-tengah keramaian kota. Candi yang terbuat dari batu bata terdapat di setiap sudut kota. Semua itu menandakan bahwa penduduk di negeri itu hidup makmur dan sejahtera. Sangat berbeda sekali dengan di kota dia dulu.

Di kota itu, Sampuraga mencoba melamar pekerjaan. Saking rajinnya, Raga tak susah dalam mendapat pekerjaan, bahkan lamaran pertamanya pun langsung diterima. Ia bekerja pada seorang pedagang yang kaya-raya. Sang Majikan sangat percaya kepadanya, karena ia sangat rajin bekerja dan jujur. Sudah beberapa kali sang Majikan menguji kejujuran Sampuraga, ternyata ia memang pemuda yang sangat jujur. Oleh karena itu, sang Majikan ingin memberinya modal untuk membuka usaha sendiri. Dalam waktu singkat, usaha dagang Sampuraga berkembang dengan pesat.

“Aku tau dirimu Sampuraga, kau memang anak yang jujur, sebagai imbalan kau bisa mendapat modal usaha dariku,” ucap majikan tempat ia bekera tersebut.

Dan ternyata keuntungan yang diperolehnya ia tabung untuk menambah modalnya, sehingga usahanya semakin lama semakin maju. Tak lama kemudian, ia pun terkenal sebagai pengusaha muda yang kaya-raya. Tidak ada yang tidak kenal siapa Sampuraga, hanya saja orang tidak pernah tahu siapa latar belakangnya dulu, atau dengan siapa sebenarnya ia tinggal. Sang Majikan sangat senang dan bangga melihat keberhasilan Sampuraga. Ia bahkan berkeinginan menikahkan Sampuraga dengan putrinya yang terkenal paling cantik di wilayah kerajaan Pidoli.

“Raga, aku memang tidak mengenal perihalmu dulu, tapi aku tahu siapa kau sekarang, pemuda cerdas yang jujur dan sangat rajin. Dengan ini aku bertanya, maukah kau menikah dengan putriku dan menjadi menantuku?” tanya sang Majikan.

“Benarkah, Tuan? Saya juga sangat senang dengan putri Tuan yang cantik jelita itu. Saya bersedia untuk menikahinya, Tuan.” Sampuraga menjawab sambil berterima kasih kepada sang Tuan dengan sebesar-besarnya.

Puluhan ekor kerbau dan kambing yang akan disembelih disediakan. Gordang Sambilan dan Gordang Boru yang terbaik juga telah dipersiapkan untuk menghibur para undangan. Pernikahan mereka diselenggarakan secara besar-besaran sesuai adat Mandailing. Apalagi keturunan pedagang yang kaya raya, tentulah pernikahan itu sangat mewah. Persiapan mulai dilakukan satu bulan sebelum acara tersebut diselenggarakan.

“Sebentar lagi akan ada pernikahan putri saudagar kaya dengan pemuda bernama Sampuraga.” Berita itu bahkan tersiar sampai ke pelosok-pelosok daerah. Seluruh warga telah mengetahui berita itu, termasuk ibu Sampuraga. Perempuan tua itu hampir tidak percaya jika anaknya akan menikah dengan seorang gadis bangsawan, dan sudah bisa bekerja bersama dengan saudagar kaya itu.

Tapi ibunya tidak percaya, bahkan berulang kali hanya menepis seraya berucap, “Ah, tidak mungkin anakku akan menikah dengan putri bangsawan yang kaya, sedangkan ia adalah anak seorang janda yang miskin. Barangkali namanya saja yang sama,” demikian yang terlintas dalam pikiran janda tua itu.

Antara sedih, senang, bingung, ibunya pun ingin memastikan apa yang tersebar itu adalah benar anaknya atau tidak. Setelah mempersiapkan bekal secukupnya, berangkatlah ia ke negeri Mandailing dengan berjalan kaki untuk menyaksikan pernikahan anak satu-satunya itu. Setibanya di wilayah kerajaan Pidoli, tampaklah sebuah keramaian dan terdengar pula suara Gordang Sambilan bertalu-talu. Dengan langkah terseok-seok, nenek tua itu mendekati keramaian. Alangkah terkejutnya, ketika ia melihat seorang pemuda yang sangat dikenalnya yang tak lain dan tak bukan merupakan anaknya yang dulu pernah ingin memberikan kehidupan makmur untuknya. Raga sedang duduk bersanding dengan seorang putri yang cantik jelita. Pemuda itu adalah Sampuraga, anak kandungnya sendiri yang dulu ia berikan restu untuk merantau ke negeri ini.

Tapi kenapa anakku tidak mengabariku bahwa ia akan menikah? Pikiran itu membuat ibunya sedih, Namun tak memutuskan untuk membenci anaknya, bahkan saking rindunya, ibunya dengan cepat memanggil nama anaknya.

“Sampuraga!” pekik ibunya sangat lantang setelah sebelumnya dengan penuh perjuangan bertanya pada semua orang di mana anaknya. Bahkan orang-orang menganggapnya pengemis dan menertawakannya. Dan sekarang ia berulang kali memanggil nama itu, tapi tidak ada sahutan dari anak kandungnya itu.

Sedangkan Sampuraga sangat terkejut mendengar suara yang sudah tidak asing di telinganya. “Ah, tidak mungkin itu suara ibu,” pikir Sampuraga sambil mencari-cari sumber suara itu di tengah-tengah keramaian. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba seorang nenek tua berlari mendekatinya.

“Sampuraga…Anakku! Ini aku Ibumu, Nak, kenapa tidak beritahu kau akan segera menikah?” seru nenek tua itu sambil mengulurkan kedua tangannya hendak memeluk Sampuraga yang dulu selalu terngiang di kepalanya.

“Kau terlihat sehat, Nak. Kau sudah kaya dan makmur persis seperti yang kau ucap dulu saat minta restu untuk pergi merantau ke negeri ini. Dan kau juga memiliki permaisuri yang cantik jelita. Ibu merindukanmu, Nak. Kenapa kau tidak pulang untuk melihat keadaann ibu?” kata sang ibu tertatih-tatih sambil memegang tongkat di tangannya.

Namun bukan pelukan hangat yang didapatkan ibunya, justru penolakan yang sangat luar biasa. Sampuraga yang sedang duduk bersanding dengan istrinya, bagai disambar petir seolah sangat malu akan kehadiran ibunya. Wajahnya tiba-tiba berubah menjadi merah membara, seakan terbakar api. Padahal ia mengingat jelas itu adalah ibunya, namun rasa malu mengalahkan semuanya. Ia membela seolah ibunya lah yang mengaku-ngaku. Semua ajudan yang memegang tombak sontak menghalangi ibunya hingga jatuh dan terduduk begitu saja.

“Ibuku? Mana mungkin aku punya ibu tua jelek sepertimu! Enak saja kamu mengaku-ngaku sebagai ibuku. Aku tidak punya ibu jelek seperti kamu! Aku bahkan tidak ingat pernah meminta restumu. Pergi dari sini! Jangan mengacaukan acaraku dan mempermalukanku di depan keluargaku!” bentak Sampuraga sambil berdiri seolah mengusir.
Berulang kali ibunya mencoba berdiri namun terus dihadang oleh ajudannya hingga tangan ibunya berdarah tertimpa tombak. Tangan kirinya berulang kali mengulurkan untuk menyentuh Sampuraga, anaknya. Sedangkan saudagar kaya dan putri jelita itu menatap bingung. Bahkan berulang kali putri itu menyuruh Sampuraga untuk mengaku, tapi Raga bahkan mempertahankan kebohongannya.
“Kakanda, bila memang ini ibumu, katakan saja, dan minta maaflah padanya,” kata putri itu menenangkan calon suaminya.

“Sampuraga…. Anakku! Aku ini ibumu yang telah melahirkan dan membesarkanmu. Dulu aku sangat menyayangimu karena kau pekerja keras dan rajin, jujur dan menyenangkan ibumu yang tua renta ini. Sekarang kenapa kau berubah, Nak? Ibu bahkan berhari-hari memikirkanmu yang tidak pulang takut jika terjadi sesuatu hal padamu. Kenapa kamu melupakan ibu? Ibu sudah lama sekali merindukanmu. Rangkullah Ibu, Nak!” Iba perempuan tua itu sembari meneteskan air mata yang tak terbendung lagi. Bahkan darah segar yang mengalir dari tangannya sudah bercampur dengan air matanya.

“Tidak! Kau bukan ibuku! Ibuku tidak mungkin ada di sini. Ibuku sudah lama meninggal dunia. Algojo! Usir nenek tua ini!” Perintah Sampuraga yang lantas diikuti Algojo dengan secara paksa akhirnya menyeret si ibu yang tangannya sudah berlumuran darah. Bahkan Alhojo itu pun tidak memiliki belas kasih pada perempuan tua itu, mereka benar-benar percaya bahwa ibu Sampuraga memang telah tiada.

Pemandangan itu membuat sang putri takut dan bersedih, sedangkan hati Sampuraga benar-benar sudah tertutup. Dengan teganya ia mengingkari dan mengusir ibu kandungnya sendiri. Tidak hanya mengingkari tujuan utamanya, namun segala hal yang ia dapatkan di sini benar-benar membuatnya lupa diri sampai tidak tahu seberapa penting dan makbulnya doa seorang ibu. Sampuraga membiarkan perempuan itu tersakiti dan berlinang air mata. Semua undangan yang menyaksikan kejadian itu menjadi terharu. Namun, tak seorang pun yang berani menengahinya. Bahkan sang putri pun hanya diam dengan mata yang nanar.

Ibunya pasrah menghadapi segala hal yang terjadi apalagi sejak anaknya tidak mengakuinya. Perempuan tua yang malang itu kemudian diseret oleh dua orang sewaan Sampuraga untuk meninggalkan pesta itu. Dengan derai air mata, dan rasa kecewa yang luar biasa, perempuan tua itu berdoa: “Ya, Tuhan! Jika benar pemuda itu adalah Sampuraga, berilah ia pelajaran! Ia telah mengingkari ibu kandungnya sendiri. Biarkan ia mendapat ganjaran akan perbuatannya.” Ibunya bahkan bersenandung memanggil nama Sampuraga.

Seketika itu juga, tanpa berlama-lama, pesta itu berubah menjadi bencana yang luar biasa. Tiba-tiba langit diselimuti awan tebal dan hitam. Petir menyambar bersahut-sahutan dan memekakkan telinga akan suaranya. Tak lama kemudian, hujan deras pun turun diikuti suara guntur yang menggelegar seakan memecah gendang telinga. Sampuraga dan permaisurinya menyaksikan langit tampak menyeramkan seperti itu. Seluruh penduduk yang hadir dalam pesta berlarian menyelamatkan diri, sementara ibu Sampuraga menghilang entah ke mana. Dalam waktu singkat, tempat penyelenggaraan pesta itu tenggelam seketika. Tak seorang pun penduduk yang selamat, termasuk Sampuraga dan istrinya. Semuanya lenyap, bagai disapu bersih tanpa ada tanda-tanda kehidupan sebelumnya.

Beberapa hari kemudian, tempat itu telah berubah menjadi kolam air yang sangat panas. Jika teman-teman melihat, di sekitarnya terdapat beberapa batu kapur berukuran besar yang bentuknya menyerupai kerbau. Selain itu, juga terdapat dua unggukan tanah berpasir dan lumpur warna yang bentuknya menyerupai bahan makanan. Penduduk setempat menganggap bahwa semua itu adalah penjelmaan dari upacara pernikahan Sampuraga yang terkena kutukan. Oleh masyarakat setempat, tempat itu kemudian diberi nama “Kolam Sampuraga”. Hingga kini, tempat ini telah menjadi salah satu daerah pariwisata di daerah Mandailing yang ramai dikunjungi orang. Bahkan saking tersebarnya kisah ini, jika ada anak yang durhaka, maka diceritaknlah siapa Sampuraga. Bahwa anak-anak itu dapat dengan sekejab berubah menjadi air panas tersebut.

Bahkan saya sendiri pun pernah sewaktu kecil dibawa ke sana, dan air panasnya itu begitu panas hingga uapnya sangat banyak. Bila sebuah telur dimasukkan ke dalam air panas itu, maka matanglah dalam beberapa menit. Mungkin teman-teman familiar dengan cerita ini, karena jalan ceritanya mirip dengan Malin Kundang, tapi cerita rakyat memanglah tidak satu, melainkan banyak, dan dengan beda judul tapi makna yang sama. Saya juga pernah melihat langsung videonya, ada lagu Sampuraga yang sering diputar dulu berbahasa Mandailing yang sangat menggugah hati saya. Menangis menyaksikannya, dan cerita di atas adalah versi saya tentang Sampurga. Semoga teman-teman dapat memetik pelajaran dari cerita ini, bahwa setinggi apa pun derajat kita nanti akan kalah dengan doa restu orang tua saat mendoakan maupun mengutuk anaknya.

“Tulisan ini untuk memenuhi tantangan ODOP Batch 7”


6 comments:

  1. Semakin byk wawasan tentang cerita rakyat. Terima kasih kakak...ceritanya bagus 😍🤗

    ReplyDelete
  2. Ternyata tak cuma Malin yang durhaka Sampuraga jg. Baru tahu loh kak cerita ini. Bagus gaya berceritanya!

    ReplyDelete

Terima Kasih telah membaca. Akan sangat dihargai jika diberi kritik dan saran juga hal menarik lainnya yang akan dibahas :)

Labels

Cerpen (37) Wacana (18) Artikel (12) Puisi (8) Drabble (7) Sad Story (7) Review Blog (3) Ulasan (3) Essay (2) Lagi Viral (2) Resensi (2) Review Film (2) Review Series (2) Tips (2) Biografi (1) Quotes (1)