Keesokan harinya, aku sampai setengah tujuh karena hujan dan terlihat Tika dan Tami sedang dimakeup. Ada sebagian yang disanggul, dan sebagian lagi mengganti baju. Aku dan Zahra yang agak terlambat disuruh mengganti baju yang tersisa dua.
“Aduh, kok sesek ya, gak bisa dikancing aku Lis,” ujar Zahra sedih. Aku kecewa dengan perlakuan mereka yang tanpa bertanya memilih baju ukuran yang sama. Begitu pun denganku, bajuku sangat sempit bahkan lebih sempit dari Zahra. Sedangkan mereka semua sudah nyaman dengan baju tanpa mau mencoba baju yang lain lagi.
“Aduh, ya sudahlah kalau tidak muat, nanti rusak pula bajunya,” kata Tami selaku penanggung jawab baju. Aku benar-benar kesal dan kecewa dengan perlakuan mereka di hari H.
“Itu sudah paling besar loh,” kata Kak Iin selaku penyewa baju tari.
“Kalau gitu, kalian gak usah nari aja. Kan pas dua, satu pasangan,” ujar Tami yang sontak membuatku geram.
Lantas selama ini kami latihan terus menerus sia-sia karena fitting baju yang sesuka hati? Harusnya jika sudah tahu akan ada ukuran yang tidak pas kenapa kami masih dipaksa ikut menari?
“Gak bisa gitu dong mi, formasinya pasti berantakan,” kata Kak Putri.
“Mereka ini di bagian belakang kok kak, jadi tidak kelihatan,” balas Tami lagi.
Dan aku baru sadar, sejak saat kami diberhentikan, mereka semua diam, bahkan Sari sendiri yang mengajakku tidak berucap sepatah kata pun. Dan dengan lapang dada aku mengganti bajuku dan melepas manset kulitnya karena ternyata tidak dipakai.
Tidak ada satu pun yang menghentikan kami atau setidaknya minta maaf saat kami pamit meninggalkan ruangan itu. Bagaikan dihujam pisau, kecewaku sangat luar biasa adanya. Tapi aku tetap tersenyum bahkan saat setelah keluar dari acara itu, semua orang bertanya kenapa aku tidak jadi ikut menari. Aku malu luar biasa, sudah banyak waktu kukorbankan untuk latihan, tapi ternyata disambut seperti itu.
Tapi berlarut-larut hanya akan memaksimalkan luka. Hingga aku dan Zahra memutuskan untuk kembali masuk ke acara dan mengisi absen serta duduk di bangku paling atas agar tidak kelihatan. Dan kami menyaksikan tarian yang kami sudah paham betul gerakannya. Zahra yang sudah menceritakan pada Kris dan Anna perihal itu langsung mengatakan agar kami sabar.
“Semua ada hikmahnya,” kata Kris sambil menepuk pundakku yang kubalas dengan senyuman.
Setelah acara itu selesai, semua penari berfoto bersama dan aku bahkan tidak sanggup untuk menyapa mereka. Tapi walaupun begitu, aku tetap menyemangati mereka dengan senyuman dan menjaga stand robotikku untuk mencari kesibukan. Sedangkan Zahra pulang, dia tidak sanggup berbicara lantaran kecewa, emosi, bercampur aduk menjadi satu.
Aku berada di acara itu hingga sore, Sari melihatku dan berusaha tersenyum, dan akhirnya menghampiriku.
“Marah ya?” tanya Sari yang kujawab dengan gelengan.
Setelah mendengar jawabanku dia pun pergi bersama panitia acara lainnya, sedangkan aku pulang dan berusaha melupakan semua kejadian yang kualami hari ini. Bahwa jika kita tidak berhati besar dan menjadi pemaaf, kita bukanlah bagian “habislah gelap terbitlah terang” yang pernah diutarakan Kartini. Bahwa apa yang terjadi pasti selalu ada hikmahnya, tergantung bagaimana kita menyikapinya.
Mantap Kakak keren sekali #semangat
ReplyDeleteYaaah gak jadi nari...
ReplyDeleteSemangat kakak
Tetap semangat kakak :)
ReplyDeleteluar biasa, berjiwa besar. keren, aku belum tentu bisa begitu.
ReplyDeleteberjiwa besarr, sukaa...😍😍😍
ReplyDeleteKeren kakak
ReplyDeleteInsya Allah, kesabaran membawa berkah
ReplyDeleteMasya Allah...
ReplyDelete