-Tidak ada apa-apa Da, besok ingin berjumpa?
-Sudah 2 jam kau mengabaikanku, sekarang kau ingin mengajakku berjumpa?
Jawaban itu sukses membuatku tersenyum. Dinda memang orang yang sangat lucu saat menggerutu, salah satu alasan kenapa aku mencintainya. Tapi aku terdengar sangat jahat karena terlalu takut untuk berterus terang tentang Clara dan aku.
Di sisi lain, sebuah notif Line membuatku kaget dan buru-buru membalasnya.
-Mau sampai kapan untuk bersembunyi? Kau ini pria. Jangan buat aku malu dengan selalu menyembunyikan antara kau dan Clara.
Namanya Leo, seorang pemain basket yang merupakan teman akrabku. Kami berteman akrab sejak pertama kali jumpa di kampus. Anaknya sangat pendiam, sampai perempuan yang menyukainya pun tak mampu mengutarakannya. Kalau pun ada, mungkin nyalinya setinggi Clara. Dan kenapa aku memikirkan Clara? Apa aku benar-benar mengharapkannya?
"Fahmi?" Suara ibu membuatku terbangun dari lamunan.
"Ada apa Bu?" tanyaku.
"Apa kau mengundang tamu? Kelihatannya teman ibu dan ayah tidak seimut itu."
Mataku sukses melotot dan membuatku langsung menuju pintu serta membukanya. Sesaat setelah membuka pintu, aku terbius sementara. Wajahnya tersenyum merekah, bersamaan dengan rambutnya yang basah. Tidak heran karena memang cuaca sedang hujan. Ia mengenakan kemeja merah dan jaket hitam yang aku tahu persis punya siapa.
"Fahmi 'kan?" tanyanya sambil melipat tangan seolah kedinginan.
"Raini. Calon kakak ipar," balasku sambil mengejeknya.
Kubiarkan dia masuk dan duduk di ruang tamu sementara aku membuatkan teh untuknya. Ibuku tidak pernah tahu perempuan ini, karena aku pun mengenalnya saat aku masih tinggal di kos abangku. Raini sebenarnya adalah teman sebayaku yang tanpa sengaja dekat dengan abangku saat kami sering menonton film bersama.
"Raini, apa yang membawamu ke sini?" Aku masih bertanya-tanya alasan utama Raini datang. Namun sepertinya bukan yang aku harapkan, karena tiba-tiba Raini menangis dan membuat jantungku sukses berdegup kencang. Aku tidak ingin ibu sampai mengira bahwa aku yang melakukannya.
"Fahri tidak mengatakannya padamu?" tanya Raini balik yang langsung kusambut dengan gelengan. Menunggu jawaban sembari mendengar helaan napas berat yang dialami Raini. "Aku melihatnya berkencan dengan perempuan lain."
Walaupun batinku ingin menolak jawaban itu, tapi yang aku tahu Raini tidak pernah berbohong selama aku mengenalnya. Tapi aku juga tahu Fahri tidak mungkin menyakiti perempuan dengan cara seperti itu. Raini kembali tersenyum, dan berkata, "Aku mengenal perempuan ini Fahmi, dia lebih dulu suka pada Fahri, dan ternyata Fahmi juga mencintainya."
Deg. Jantungku berdesir, teringat dengan kejadian yang kualami hari ini. Aku hanya menatap nanar mata Raini yang penuh luka. Kubiarkan dia berpikir, sedangkan aku terus menyemangatinya. Aku juga berjanji akan menemui Fahri dan membicarakan semua ini. Aku tidak ingin ada perempuan siapa pun yang bisa disakiti dengan cara seperti itu.
Malam itu, aku memutuskan untuk mengantarnya. Aku tidak tega jika melihatnya basah kuyup dengan pikiran sedang terombang-ambing semacam itu. Raini adalah teman yang baik, setidaknya aku mengenalnya selama SMA dan masih ingat betul di mana rumahnya. Berulang kali dia mengucapkan terima kasih sedangkan aku berulang kali mengutuk abangku sendiri.
-Baiklah, aku menyerah, Aku mau berjumpa denganmu.
Astaga, aku sampai lupa membalas pesan Dinda.
***